RIBATH NURUL HIDAYAH

FIKRAH

MENU ARTIKEL - silahkan pilih Menu dibawah ini

Senin, 09 November 2009

KH Achmad Djazuli

KH Achmad Djazuli

Sang Blawong Pewaris Keluhuran

Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.

Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”

Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.

Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.

Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.

Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura).

“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf.

Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.

Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.

Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.

KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).

Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.

Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah.

H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.

Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.

Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri.

Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.

Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyarakat.

Dengan modal tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.

Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.

Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.

Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.

Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.

Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.

Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu

Kiai Hasyim Asy'ari

BIOGRAFI

Nama:
Kiai Hasyim Asy'ari
Lahir:
Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Meninggal:
25 Juli 1947
Ayah/Ibu:
Kiai Asyari/Halimah
Jasa-jasa:
- Pendiri Pesantren Tebuireng, 1899
- Salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, 31 Januari 1926
- Tokoh pembaharu pesantren
Penghormatan:
- Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No.294 Tahun 1964, tgl 17 Nop 1964)

Ulama Pembaharu Pesantren

Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.

Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.

Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.

Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.

Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.

Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. ► dari berbagai sumber.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia

KH.SYAFI’I HADZAMI

KH.SYAFI’I HADZAMI
(SUMUR YANG TAK PERNAH KERING)


Muallim Syafi’i panggilan tersebut akrab di telinga murid-murid beliau. Kedalaman ilmu serta ketawadhuan beliau memang pantas rasanya bila KH.Syafi’i Hadzami mendapat julukan Muallim Jakarta, sejak muda beliau gemar sekali menuntut ilmu dan tak pernah merasa puas terhadap ilmu yang beliau miliki, maka tak heran bila beliau menguasai beberapa fan ilmu seperti Ilmu Fiqih, ilmu Falaq, ilmu Hadist , Ilmu Tauhid dan berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya.

Salah satu Guru beliau yang sangat beliau Hormati adalah Syech Muhammad Yasin bin Isa Al Fadani seorang Ulama terkemuka dari Mekkah yang bergelar Musnidud Dunya, dan guru- guru beliau lainnya adalahKyai Husain, K.H. Abdul Fattah, Ustaz Sholihin,Habib Ali Bungur, Habib Ali alhabsyi kwitang K.H. Ya’qub Sa`idi, .

Beliau Bernama Muhammad Syafi”i putra Bewati lahir pada tgl 31 jan 1931 ayahnya bernama Muhammad Saleh Raidi, gelar Hadzami diberikan oleh guru-guru dan para Ulama karena kedalaman ilmu yang beliau miliki dalam memahami serta menjelaskan masalah-masalah yang tergolong rumit untuk dipahami dan Muallim Syafi’i dengan mudah menjelaskan masalah-masalah tersebut dengan berbagai sumber referensi yang beliau miliki. Muallim Syafi’i mengajar dibeberapa majlis ta’lim di Jakarta bahkan menurut penuturan murid beliau sebelum meninggalpun Muallim Syafi’i Hadzami masih sempat mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad pondok pinang jakarta selatan,Majlis -majlis ta’limnya tak pernah sepi selalu dipadati oleh jamaah yang berasal dari berbagai kawasan Jabotabek bukan hanya dari kalangan umum saja yang mendatangi majlis beliau bahkan Para Ulama serta para Asaatidz turut hadir dalam menimba ilmu dari beliau.

Waktu yang begitu berharga tidak beliau sia-siakan untuk hal hal yang tidak berguna, beliau pergunakan seluruh waktunya untuk mengajar dan membimbing umat, dan salah satu bentuk ketawadhuan beliau adalah beliau selalu menganggap guru terhadap para ulama dan para Habaib walaupun kapasitas keilmuan yang beliau miliki melebihi para ulama dimasanya. Beliau tekun selalu membaca dan menelaah kitab-kitab, karya beliau yang termashur adalah Kitab Al Hujjalul Bayyinah , Kitab Sullamul’arsy fi Qiraat Warasy yang berisi tentang Kaedah Bacaan Alquran Imam Warasy,Kitab Taudhihul Adillah , 100 masalah Agama,Risalah sholat tarawih, risalah Qoblyah Jum’at.

Karisma keulamaan yang tampak dalam diri Muallim Syafi’i memancar , beliau bukan saja dikenal di indonesia tapi kedalaman ilmu beliau juga dikenal di luar negri seperti di Mekkah dan Hadromaut Tarim.Beliua juga sering mendapat kunjungan dari beberapa ulama Tarim seperti Alalamah Habib Umar bin Hafidz pengasuh pon-pes Darul Musthofa Tarim Hadromaut.

Ba’da mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad tepatnya tanggal 07 may2006 beliau merasakan nyeri di dada dan sesak napasnya, hingga akhirnya Muallim Syafi’i dilarikan kerumah sakit RSPP pertamina namun ditengah perjalanan Alloh SWT memanggilnya untuk kembali menghadapnya, retak agama….rengat agama…dengan meninggalnya orang alim….linangan air mata mengalir dari murid-murid serta orang-orang yang mencintai beliau ,ribuan orang berdatangan kerumah beliau untuk mensholati bahkan menurut penuturan murid beliau yang mensholati jenazah Muallim Syafi’i tak putus-putus dari pagi hingga malam hari.

Minggu, 08 November 2009

KH Muh Zaini Abdul Ghani

KH Muh Zaini Abdul Ghani (1942-2005)
Ulama Karismatik dari Sekumpul

Ulama karismatik asal Sekumpul Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani (63) atau lebih akrab disebut Guru Ijai atau Guru Sekumpul, tutup usia Rabu 10 Agustus 2005 pagi sekitar pukul 05.10 Wita di kediamannya, Sekumpul Martapura.

Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Ijai lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas shalat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum yang bergelar Al Alimul Allamah Al Arif Billaah Albahrul Ulum Al Waliy Qutb As Syeekh Al Mukarram Maulana.

Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi kemarin sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir.

Sebelum wafat, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Selasa (9/8) malam sekitar pukul 20.30, Guru Sekumpul tiba di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, dengan menggunakan pesawat carter F-28, dan pada pagi harinya tutup usia.

Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan shalat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.

KH Muhammad Zaini Abdul Ghani, putra kelahiran Martapura 11 Februari 1942, merupakan ulama karismatik dalam berdakwah dan menyebarkan syiar Islam di Kalsel. Guru Sekumpul juga masih zuriat atau keturunan dari ulama besar Banjar, Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari yang disebut Dato Kelampayan.

Kegiatan pengajian atau majelis taklim yang dilakukannya selalu dibanjiri ribuan jemaah dari berbagai kota. Namanya dikenal di kalangan luas, baik pejabat pemerintahan, politisi, militer, dan seniman.

Beberapa tokoh yang pernah mengunjungi kediamannya, antara lain KH Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, hingga Aa Gym. (FUL, Kompas 11/8/2005) ► e-ti

BIOGRAFI
Nama:
KH Muh Zaini Abdul Ghani
Lahir:
Martapura 11 Februari 1942
Meninggal:
Martapura, 10 Agusuts 2005
Agama:
Islam

Kiai Mahfudz Anwar

Pakar Astronomi NU
KH. Mahfudz Anwar adalah salah seorang ulama kharismatik yang memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat mumpuni. Tiga cabang ilmu dasar dikuasai dengan sangat mendalam yakni fikih, tafsir dan ilmu falak (astronomi). Selain ketiga bidang itu, KH. Mahfudz Anwar juga dikenal sebagai seorang Muhaddits [ahli hadits], Sufi [ahli tasawuf], dan ahlul lughah [ahli bahasa/ etimolog].
Kemampuan yang dimilikinya itu tidak lepas dari latar belakang keluarga yang membimbingnya, lembaga pendidikan yang menempanya, dan perjuangan sosial kemasyarakatan yang dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Tetapi diantara sekian banyak ilmu yang dikuasai ia lebih dikenal sebagai seorang pakar ilmu falak, yang ditekuni hingga akhir hayatnya.

Masa Pembentukan
Kiai yang hafal al Quran itu dilahirkan di Paculgowang Jombang 12 April 1912 M dari pasangan Kiai Anwar Alwi dan Nyai Khadijah, ia anak keenam dari 12 orang bersaudara. Ayahnya adalah pengasuh Pesantren Pacul Gowang, generasi kedua. KH. Anwar Ali satu periode dengan KH. Moh. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Mereka sama-sama murid KH. Kholil Bangkalan Madura. Selain KH. Hasyim, KH. Abdul Karim [pendiri pondok pesantren Lirboyo Kediri] dan KH. Ma’ruf [Kedunglo Kediri] juga teman karibnya. Kiai Anwar Alwi juga murid KH. Mahfudz Termas Pacitan yang berdomisili di Makkah ketika studi di sana.

Melihat latar belakang keluarga yang berbasis pesantren itu sangat wajar apabila KH. Mahfudz Anwar tumbuh dalam suasana religius dan keilmuan agama yang tinggi Saat itu Pesantren Tebuireng telah muncul sebagai pesantren terkenal kualitas keilmuannya, kenyataan itu membuat Kiai Anwar Ali memondokkan anaknya ke sana. Jarak antara Tebuireng dengan Paculgowang hanya sekitar 3 km. Maka dikirimlah Mahfudz kecil ke Pondok Pesantren Tebuireng untuk menimba ilmu dari Kiai Hasyim.

Masa pendidikan Mahfudz banyak dihabiskan di Tebuireng, ditempuh mulai dari kelas shifir awal, tsani, tsalis, (kelas 1 sampai kelas VI) Ibtidaiyah. Karena kecerdasannya yang tinggi maka ketika mencapai kelas IV ia sudah ditugasi untuk mengajar adik kelasnya, padahal umumnya tidak jauh beda atau lebih tua darinya. Ini menunjukkan bahwa Mahfudz kecil memang sudah kelihatan kecerdasannya. Baru setelah lulus kelas VI, ia diangkat menjadi guru resmi di Pesantren Tebuireng. banyak murid ustadz Mahfudz yang nantinya menjadi orang besar, pemimpin masyarakat, misalnya KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Tholhah Hasan bahkan Kiai As’ad Syamsul Arifin sempat berguru padanya.

Selain kepada Kiai Hasyim, Mahfudz juga belajar kepada Kiai Ma’shum Ali, seorang ulama besar, ahli falaq dan pencetus nazam Ilmu Sharaf yang sangat heboh di Timur Tengah. Kiai Ma’shum Ali adalah Direktur Madrasah Tebuireng. Posisi penting itu ia duduki baik karena keilmuannya juga karena menantu KH. Hasyim Asy’ari dengan putrinya Hj. Khoiriyah Hasyim. Pada saat yang sama ia juga mengasuh pesantren sendiri di Seblak, tidak jauh dari situ. Pada kiai muda itu Mahfudz khusus mempelajari ilmu falaq, dan ia menunjukkan bakat yang luar biasa dalam disiplin itu. Hal itu bisa dipahami mengingat sejak usia belasan tahun, Mahfudz sudah belajar ilmu itu. Karena itu meski usianya belum genap 20 tahun, kata Kiai Sahal Mahfud, ia sudah disegani oleh santri Tebuireng.

Sebagai santri yang menonjol kepandaiannya, akhirnya Mahfudz diambil menantu oleh Kiai Maksum, karena itu ketika Kiai Maksum meninggal pada usia yang sangat muda, 33 tahun tepat pada tahun 1933, maka kepemimpinan pesantren Seblak diserahkan kepada ustadz Mahfudz. Kesibukan mengurusi pesantren di Seblak tidak membuat Kiai Mahfudz melupakan Tebuireng ia tetap mengajar di Tebuireng. Walaupun sudah menjadi pengasuh pondok pesantren dan sudah menguasai sederet ilmu dengan mendalam, namun semangat belajar Kiai Mahfudz tidak pernah padam. Diantara sekian ilmu yang terus giat dipelajari adalah ilmu falaq sayang guru di bidang itu Kiai Ma’shum Ali keburu meninggal dunia, karena itu langsung belajar falaq lagi kepada Mas Dain, seorang santri seniornya yang menjadi kepala pondok Seblak, yang masih terbilang cucu Kiai Rahmat Kudus. Karena minatnya sangat besar maka ia belajar dengan tekun dan teliti, sehingga bisa menyerap ilmu gurunya itu dengan cepat.

Ilmu Falak Sebagai pilihan.
Sebagai seorang ulama yang mumpuni, Kiai Mahfud menguasai berbagai disiplin keilmuan, antara lain fikih, tafsir dan falak. Dari sekian itu semua dikuasi, tetapi paling ditekuni adalah ilmu falak. Setelah betul-betul menguasai falaq, maka diskusi dan perdebatan dengan mitra belajarnya menjadi semakin seru. Mereka terus mengasah ketajaman analisis masing-masing melalui forum musyawarah sebagai ajang berdebat untuk memperkokoh argumen dan menghindupkan suasana kailmuan yang jarang diminati itu Maka tidak heran, apabila Kiai Mahfudz dan Mas Dain dalam tempo yang selatif singkat mampu menjadi seorang pakar falaq yang betul-betul mumpuni. Momentum paling tepat untuk menguji kepakaran mereka adalah pada saat rukyatul hilal (penentuan) awal Ramadlan dan Syawal, sebuah momen yang akurasinya sangat ditunggu oleh masyarakat. Maka, setiap menjelang Ramadan dan Syawal, Kiai Mahfudz dan Mas Dain pergi ke gunung Tunggorono, sebelah barat kota Jombang sekitar 2 km, untuk melakukan rukyah (pemantauan), melihat bulan setelah diperhitungkan sesuai dengan hasil hisab (perhitungan) masing-masing.

Walaupun ilmu dan caranya sama, namun seringkali hasilnya tidak sama. Yang satu mungkin mengembangkan satu cara menjadi cara yang lebih cepat dan cerdas, yang satu tetap istiqomah dengan cara lama. Setelah proses rukyah selesai mereka kembali ke pondok mendiskusikan hasil rukyah masing-masing. Perdebatan, untuk adu argumentasi dan ketajaman menganalisa serta kecermatan dalam mengamati hilal [tanggal] menjadi kunci kemenangan. Akhirnya, siapa yang paling benar dan kuat dalilnya yang keluar sebagai pemenang. Kiai Mahfudz sering menang dalam ajang perdebatan ini. Menurut penuturan Kiai Masduki, kelebihan Kiai Mahfudz mampu menghitung almanak secara akurat lima tahun kedepan. Tetapi untuk menjaga akurasinya ketika membuat almanak selalu gabung dengan Kiai Zubair Selatiga.

Dengan kecemelangannya dalam ilmu falaq ini semakin mengukuhkan kualitas keulamaannya dan kelebihannya diatas ulama yang lain. kebanyakan ulama, khususnya ulama NU hanyalah menguasai ilmu fiqh. Jarang dari mereka yang memiliki kepakaran langsung bidang kikih, tafsir dan sekaligus falak sehinga pamor Kiai Mahfudz semakin tampak diluar pesantren, di masyarakat sekitar. Walaupun keahliannnya langka, tetapi ia masih bisa berkomunikasi dengan rakyat melalui berbagai keilmuan yang dimiliki, akibatnya ia sering diundang mengisi acara pengajian kampung.

Berkarir di NU
Kiai ini tipe kader NU karis, ia menempuh jalur organisasi ini dari yang paling bawah sebagai pengurus ranting (desa) Seblak. Dari situ naik ke MWC [Majlis Wakil Cabang] tingkat kecamatan, dan akhirnya masuk ke jajaran PCNU [pengurus Cabang Nahdlatul Ulama]. Bahkan ia menjadi Rais Syuriyah dua periode berturut-turut. Periode pertama mulai tahun 1986-1989, periode kedua mulai tahun 1989-1992. Apabila ada kegiatan lailatul ijtima’ [setiap tanggal 15 bulan Hijriyah] sebulan sekali. Waktu itu, Kiai Mahfudz beserta rombongan seperti Kiai Bisyri Syansuri, Kiai Wahab Hazbullah, Kiai Fattah, Kiai Abi Darda’, dan Kiai Sholihuddin menghadiri acara tersebut dengan naik sepeda dan bawa bekal makanan sendiri-sendiri, sementara tempat berganti-ganti.

Dari NU Cabang Jombang kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU Wilayah Jawa Timur. Di sana ia aktif mengikuti musyawarah atau bahtsul masa’il. Ketenaran fiqhnya mulai kelihatan tatkala beliau mengikuti forum bahtsul masa’il Kiai Jombang yang diadakan di Masjid Kauman Lor. Forum bahtsul Masa’il Kauman Lor itu dihadiri oleh para Kiai besar NU, seperti Kiai Wahab Hazbullah, Kiai Bisyri Syansuri, Kiai Adlan Ali, Kiai Fattah Tambak Beras, Kiai Hamid, Kiai Khalil Sokopuro, Kiai Mansur Anwar, dan Kiai Mahfudz Anwar sendiri.

Keterlibatan Kiai Mahfudz dalam batsul masa’il ini sangat besar. Ia aktif menjawab dan mengemukakan argumen dengan dalil-dalil fiqh, tafsir, dan lain sebagainya yang dianggap mu’tabar dalam kalangan Nahdliyyin. Karena kedalaman dan kehati-hatiannya dalam memutuskan hukum inilah, sehingga para ulama peserta sering menyerahkan hasil musyawarah kepada Kiai Mahfudz untuk ditashih. Apabila Kiai Mahfudz tidak datang di acara bahtsul masail, beliau selalu mengirimkan jawaban tertulis.

Intensitas musyawarah ini terus berlanjut sampai ke forum bahtsul masa’il PWNU Jatim dan dalam Muktamar NU. Kiai Mahfudz aktif di PWNU Jatim sekitar tahun 1965-1970-an. Menurut penuturan Kiai Taufiqurrahman salah seorang menantunya, ketika terlibat dalam bathsul masa’il Muktamar, pendapat Kiai Mahfudz selalu keras, dalam arti yang paling shahih, yang paling muktamad, dan yang paling rajih. Ia sangat gigih mempertahankannya, sehingga kalau ada Kiai Mahfudz, suasana perdebatannya menjadi seru, penuh dengan adu dalil secara bergantian. Karena Kiai Mahfudz tidak mau mengalah, seringkali musyawarah batshul masa’il tersebut berakhir dengan mauquf [dipending].

Walaupun demikian, Kiai Mahfudz bukannya tidak mau mengalah dalam adu argumentasi [dalil] ketika bathsul masa’il, namun ia mencari pendapat ulama yang paling shahih dan muktamad. Baru bersedia mengalah jika menemukan ta’bir lebih sharih, jelas, muktamad, apalagi pengarangnya seorang ulama besar semisal Nawawi dan Rafi’i, atau Al-Ghazali dan Ibnu Abdis Salam. Ini dilakukan semata untuk mendapatkan jawaban yang benar dan rajih.

Dari kedalaman ilmu dan kehati-hatiannya tulah, akhirnya ia dipromosikan lagi dalam kepengurusan PBNU sekitar tahun 1960-an, bersama Kiai Wahab Hazbullah dan Kiai Bisyri Syansuri. Namun, karena kepakaran beliau yang sulit tertandingi orang lain ada pada ilmu falaq, maka ia diserahi tugas untuk memegang Ketua Lajnah Falakiyah PBNU sampai tahun 1993 sebuah penghargaan professional yang sangat tinggi, karena berarti mengungguli sekian ratus pakar falak yang ada di lingkungan NU dan para ahli astronomi yang ada di republik ini.

Profesi yang Membawa Risiko Politik
Sebagai Ketua Lajnah Falakiyah PBNU ini, Kiai Mahfudz Anwar sering mendapat tantangan berat khususnya dari pihak pemerintah orde baru. Pernah hasil rukyah untuk menentukan hari raya, Kiai Mahfudz berbeda dengan pemerintah selama tiga kali berturut-turut. Seluruh kiai dan warga NU berada penuh di belakang Kiai Mahfudz, maka benturan antara NU dan pemerintah tidak terelakkan.

Dengan sikap itu PBNU di bawah Abdurrahman Wahid dan Lajnah Falakiyah di bawah Kiai Mahfud menjadi incaran pemerintah dan kerapkali dicurigai. Munawir Syadzali sebagai Menteri Agama (Menag) memanggil Kiai Mahfudz untuk mendiskusikan persoalan perbedaan pendapat antara NU dan pemerintah dalam penetapan awal Ramadlan dan Syawal. Saat itu Menag mau mengajak membuat kesepakatan, tetapi di tengah jalan tiba-tiba Menteri meminta Kiai Mahfudz untuk mengikuti pemerintah saja, kontan Kiai Mahfudz tidak menerimanya. Ia tetap pada pendirian dan keyakinannya sesuai dengan hasil hisab dan rukyah yang dilakukan.

Pada kesempatan yang lain ia diundang untuk turut melakukan ru’yah di Pelabuhan Ratu. Dalam rukyah tersebut, Kiai Mahfudz berbeda pendapat dengan hasil tim yang dibentuk oleh Depag, tetapi pihak Depag memaksa sang Kiai agar mau mengalah. Namun ia tetap tidak bergeser, teguh memegang prinsip dan keyakinan. Dalam suasana seperti itu ia berkata; kerjakan falaq dengan membaca basmalah dulu, kalau udah pegang pena, dituntun Allah. Kalau Orang itu sombong tidak akan mendapatkan kebenaran”. Karena kuatnya memegang prinsip maka ia dimarginalkan dalam forum itu. Baginya hal itu tidak masalah kemudian dengan enteng keluar dari forum tersebut dengan mengatakan; “Kalau ngak boleh ya sudah, keluar saja” begitu ujarnya.

Walaupun pikirannya tidak diterima pemerintah, sebaliknya amasyarakat sangat menghormatinya, terbukti setiap menjelang 1 Syawal mulai usai maghrib sampai larut malam, halaman rumahnya penuh dengan lautan manusia, mereka ingin mendapatkan kepastian tanggal jatuhnya bulan Syawal. Karena banyaknya tamu yang datang saat penting ini, sampai di depan rumah ada papan pengumuman yang ditulis tentang penentuan tanggal 1 Syawal. NU biasanya berkiblat kepada hasil ru’yah Kiai Mahfudz, telepon pun tidak pernah berhenti dari seluruh penjuru tanah air.

Mengingat rezim orde baru yang semakin represif dan intervensif terhadap hasil rukyah dan hisabnya, membuat ia tidak nyaman bekerja sebagai ketua lajnah Falakiah PBNUyang saat itu memang sebagai kekuatan non pemerintah yang paling dominan. Apalagi saat itu usianya sudah uzur, maka ia minta berhenti agar diganti oleh para kadernya namun ia tetap duduk sebagai Ketua Dewan Pakar Falak PBNU sampai akhir hayatnya.

Menjadi Kiai Kelana
Kehandalannya dalam fikih dan tentu saja falak membuat pemerintah pada tahun 1951 mengangkatnya sebagai Hakim Agama Kabupaten Jombang, jabatan itu diduduki selama 4 tahun. Melihat prestasi Kiai Mahfudz yang sangat baik di Pengadilan Agama Jombang, akhirnya pada tahun 1955, beliau dipromosikan menjadi Wakil Direktur Peradilan Agama DEPAG Jakarta. Pekerjaan barunya itu mengharuskan ia bolak-balik Jombang-Jakarta. Namun, baru tiga bulan Kiai Mahfudz rupanya tidak kerasan di Jakarta, akhirnya ia minta pindah ke Jombang. Ia hanya kuat bertahan 3 bulan di Jakarta. Alhamdulillah, permintaan kembali ke kampung halaman dikabulkan. Namun tidak di Jombang, tapi di Mojokerto. Di Mojokerto ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama. Setelah beberapa tahun di Mojokerto, pangkat beliau naik menjadi Hakim Pengadilan Agama di Surabaya.

Pada saat yang hampir bersamaan, ia diminta menjadi dosen fikih dan tafsir di IAIN Surabaya. Dalam bidang akademis karirnya juga menanjak dengan dipilihnya sebagai Dekan Pertama Fakultas Ushuluddin. Selain itu juga ngajar di Universitas NU Surabaya. Kepakaran Kiai Mahfudz tidak lepas dari ketekunan dan kesungguhan beliau dalam belajar. Ketika sudah menjadi orang sibukpun, beliau selalu muthala’ah [mengkaji] kitab, mudarasah [membaca] al-Qur’an, dan mengerjakan falaq. Jadi, dalam masalah waktu, beliau sangat hati-hati betul. Sedetikpun harus dimanfaatkan. Jangan sampai terbuang cuma-cuma.

Pada suatu ketika Kiai Mahfudz sekeluarga pernah pindah dari PP Seblak ke Jombang kota pada tahun 1956. di Jl Jaksa Agung Suprapto No. 14 Jombang. Tempat inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren Sunan Ampel yang saat ini berdiri dengan bangunan megah berlantai empat dan mempunyai santri kurang lebih 300 orang.

Kiai Mahfudz pindah pertama kali ke Jombang ini, selain membawa keluarganya, juga membawa santri perempuan yang jumlahnya ada 18. Mereka bertempat satu rumah dengan Kiai Mahfudz, menempati satu kamar panjang [rumah itu dulu hanya ada dua kamar, satu kamar panjang untuk santri putri bejumlah 18, dan satu kamar lainnya untuk Kiai Mahfudz, istri dan anak-anaknya]. Sungguh sebuah kesederhanaan yang patut dicontoh.

Sebelum Kiai Mahfudz menempati rumah kosong yang asalnya rumah Patih [kalau sekarang Sekwilda], awalnya beliau melakukan tirakat [topo] dulu, karena rumah itu terkenal angker. Diajaklah KH. Masduki [Perak] untuk berpuasa, membaca do’a-do’a khusus, dsb, dan akhirnya tempat itu menjadi tempat yang barakah sampai sekarang. Seiring dengan berjalannya waktu, Kiai Mahfudz kemudian membuka secara formal sebuah pesantren di tempat barunya itu pada tahun 1958.

Pada mulanya pesantrennya mirip sebuah asrama, para santrinya hanya terdiri dari anak-anak perempuan yang model pakaiannya berupa rok dan tidak berkerudung. Namun Kiai Mahfudz tidak melarangnya dengan paksa, namun pelan-pelan mereka diajari ilmu aqidah, syari’ah dan perilaku yang baik. Akhirnya, secara perlahan mereka dapat merubah. Yang asalnya memakai rok lantas memakai pakaian ala santri yang menutupi seluruh auratnya, yang asalnya tidak memakai jilbab kemudian memakai jilbab. Ketekunan, ketelatenan kesabaran, dan kesungguhan berdakwah inilah yang menjadi kunci kesuksesan Kiai Mahfudz.

Setelah pesantren yang dirintisnya berjalan, tiba-tba tugas lain sudah menunggu, ia merasa terpanggil untuk menyelamatkan pesantren warisan nenek moyangnya, yang saat itu ditinggal oleh pengasuhnya, yakni Nyai Choiriyah Hasyim pada tahun 1983, Pesantren Seblak menjadi vakum keadaan itu memaksa Kiai Mahfudz Anwar pindah lagi ke Seblak pada tahun 1989. Sedangkan pondok Sunan Ampel Jombang diserahkan kepada putra menantunya, KH. Drs. Taufiqurrahman Muhid.

Anggota Keluarga
Istrinya, Hj. Abidah Ma’shum, ditengah kesibukan mendidik anak-anaknya yang jumlahnya 11 orang, masih mampu membagi waktunya untuk mengelola pesantren, dan madrasah [PGA]. Hj. Abidah juga mampu berkarir di NU sebagai Ketua Muslimat NU Cabang Jombang, menjadi hakim anggota Peradilan Agama Jombang, anggota konstituante yang dibubarkan Soekarno, mengisi pengajian di pelosok-pelosok, menghadiri pertemuan-pertemuan penting di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain. sungguh luar biasa.

Dari 11 anak ini, yang meninggal dunia hanya seorang yaitu Ma’shum [anak pertama] yang sebetulnya dikader menjadi penerus Kiai Mahfudz. Dalam mendidik anak-anaknya, Kiai Mahfudz membebaskan anak-anaknya untuk memilih lembaga pendidikan yang disenanginya. Sesuai dengan perkembangan zaman, anak-anaknya banyak yang memilih di jalur umum, seperti kedokteran, bahasa Inggris, dan lain-lain. Yang ke IAIN hanya Gus Iim, yaitu IAIN Surabaya. Namun, setelah lulus lebih memilih profesi wartawan [Surya] dan sekarang menjadi praktisi komunikasi di sebuah perusahaan internasional.

Karena hal inilah, seringkali Kiai Mahfudz mendapat sindiran dari para kiai, “kiai kok anaknya tidak ada yang di pesantren, di sekolah umum semua” begitu juga, anak-anaknya yang belajar di sekolah umum juga mendapat penilaian yang sama, “Anaknya kiai kok belajar di sekolah umum, tidak di agama”. Semua itu meraka biarkan dengan pendirian bahwa waktulah yang menentukan. Dan ternyata benar, akhirnya banyak anaknya kiai yang tidak mondok atau belajar agama, tapi kuliah di fakultas umum.

Walaupun demikian, profesi apapun yang disandang putra-putrinya, Kiai Mahfudz selalu berpesan bahwa mereka harus berpegangan agama secara kuat, menghilangkan fanatisme dan sifat jelek lainnya.

Disisi lain, hal ini menunjukkan sifat keterbukaan Kiai Mahfudz terhadap tuntutan dinamika global yang membutuhkan penguasaan IPTEK dan skill yang memadai. Beliau tidak bersikap dikotomis, memisahkan antara ilmu agama dan umum. Semua ilmu bagi Kiai Mahfudz relevan dengan Islam. Justru saling melengkapi dan menyempurnakan.

Dalam sebuah kesempatan beliau pernah mengatakan “Kita harus memperhatikan pengetahuan umum dan keterampilan, sehingga keluaran pesantren nanti ada yang siap pakai, contohnya seperti KH. A. Wahid Hasyim”. Apa yang dikatakan diterapkan dengan serius, karena itu dipesantrennya dibuka SMP Sunan Ampel sebagairealisasi pemikiran besarnya.

Seluruh waktunya untuk mengabdi di NU dan masyarakat terutama dalam pengembangan dan pengajaran lmu falaq yang semakin tidak diminati. Sampai akhir hayatnya, ia masih berusaha melakukan hitungan falak sampai tahun 2003. Karena ketekunannya menggarap falaq ketika kondisi tubuh sudah senja, kurang sehat, penglihatan kurang maksimal. Pada tahun 1997 ia jatuh sakit. Belum lagi hobinya membaca berbagai kitab lama dan baru untuk meng-up grade pengetahuannya, hal itu membuat koleksi kitab sang kiai menjadi sangat lengkap. Pernah suatu kali seorang Imam besar Masjid Madinah datang ke ndalem Kiai Mahfudz, minta kitab Kiai Mahfudz yang dari Kiai Hasyim Asy’ari tentang ilmu hadits dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Kitab kuno itu lalu diganti dengan kitab terbitan baru.

Ketika musim lebaran, hampir non stop selama seminggu pintu rumah terbuka untuk para tamu. Mulai pagi hingga malam. Walaupun beliau capek, tetap menerima para tamu. Menurut beliau, kasihan apabila ada tamu jauh-jauh datang tapi tidak bisa ketemu. Ini menunjukkan kecintaannya kepada umat, dan beliau sekali lagi tidak merasa sebagai orang besar, sebagai orang suci, sebagai orang yang harus dijunjung tinggi. Beliau ingin posisinya setara dengan manusia lainnya. Oleh karena itu, dalam menyapa siapapun, beliau selalu santun dan tidak menunjulkan kesan kebesaran dan keagungan melebihi orang lain, sungguh luar biasa.

Dengan teman seperjuangan, Kiai Mahfudz menganggapnya seperti saudara sendiri. Selalu memperhatikan keadaan dan kondisinya. Seperti perhatiannya kepada Kiai Masduki. Hanya dua minggu tidak ketemu, Kiai Masfudz pasti datang ke rumahnya, menanyakan kabar.

Pernah ia diundang khataman Al Qur’an di daerah Brangkal Mojokerto. Dari Perak sampai Brangkal Mojokerto [perjalanan bis sekitar 1 jam setengah] Kiai Mahfudz bersama Kiai Masduki [Perak] naik sepeda. Beliau bersama Kiai Masduki juga pernah diundang ke daerah Doko [Ploso ke utara] dengan naik sepeda dan ketika menghafalkan tanpa pengeras suara.

Beberapa Keistimewaan
Sudah sangat lazim di kalangan nadliyin melakukan ziarah pada Walisongo, tetapi Kiai Mahfudz memiliki tradisi lain, ia lebih suka ziarah wali urip [yang masih hidup] bukan ke pada wali yang sudah wafat. Pada tahun 1988, bersama para Kiai, termasuk Kiai Masduki, Kiai Mahfudz ziarah ke 9 wali yang masih hidup. Wali-wali tersebut menurutnya adalah; Kiai Mufid [Jogjakarta], Kiai Arwani [Kudus], Kiai Hasan Mangli [Magelang], Kiai Khobir [Tulung Agung], Gus Hussein [Mojokerto], Kiai Zubair [Magelang], dan lainnya. Yang terakhir [Kiai Jubair] adalah santri Kiai Mahfudz.

Ketika ditanyakan kenapa Kiai ziarah kepadanya, Beliau menjawab “Dulu santri saya, tapi sekarang alimnya –kepintarannya- melebihiku”. Sebuah ungkapan kerendahan hati dan kejujuran seorang ulama yang tidak memandang status guru-murid. Ketika ziarah ke wali hidup inilah, banyak pelajaran berharga yang didapatkan Kiai Mahfudz dan rombongan. Misalnya, ketika ziarah Kiai Arwani, beliau berpesan “Kiai sak iki kudu iso ngramut santrine, ora santri seng ngramut gurune, nek ora ngono, ora angsal barakah” [Kiai sekarang harus bisa merawat santrinya, bukan santri yang meraat gurunya seperti dulu, kalau kiai tidak seperti itu, maka muridnya tidak mendapatkan barakah].

Pada tahun 1973 bersama Kiai Shalih, Kiai Shohih, Gus Dullah [adik Kiai Mahfudz], Kiai Ridlwan, dan Kiai Masduki, Kiai Mahfudz pergi khataman Qur’an di daerah Ngoro [dirumahnya Muhammadun]. Setelah selesai tibalah waktu ashar. Kiai Masduki matur “Kiai mboten shalat ashar riyen” [Kiai tidak shalat ashar dulu], Kiai Mahfudz menjawab “Mboten usah, shalat dewean wahe, ngimamai nok ngone dewe-dewe” [ngak usah, shalat sendiri-sendiri, menjadi imam di tempat kita masing-masing]. Setelah itu, mereka pulang naik montor oplet [motor kuno waktu itu]. Sampainya di depan Kiai Adlan Ali Cukir montor opletnya ditabrak prahoto [sebangsa truk] yang membawa batu penuh. Batu dalam truk tadi tumpah ke montor rombongan Kiai Mahfudz.

Dalam keadaan seperti itu, mereka semua panik bukan main, antara hidup dan mati. Kiai Mahfudz ketika situasi genting itu berkata, “Gusti watune ampun dibrekake riyen, tiyang-tiyang jen medal riyen” [batu-batu jangan ditumpahkan dulu, biar orang-orang keluar dulu]. Alhamdulillah mereka bisa keluar dengan selamat. Hebatnya, peserta rombongan lainnya tetap berusaha menyelamatkan berkat [oleh-oleh] sampai kopiahnya tertinggal, sedang Kiai Mahfudz dan Kiai Masduki tidak mengurusi berkat, sehingga kopiah mereka tetap ada.

Pernah pada suatu ketika Kiai Nah saat inilah ketiga tamu itu terlibat terlibat dalam diskusi secara intens dengan KH. Mahfudz. Khususnya pastur dari Belanda yang mahir berbahasa Arab [karena pernah lama tinggal di Mesir]. Banyak persoalan yang mereka kupas. Sampai-sampai salah seorang dari mereka, pastur dari Belanda itu melukiskan dalam buku hariannya sebuah pernyataan menarik “Saya ketemu dengan seorang Kiai yang tinggal di desa, namun pemikirannya lebih progresif dari orang kota, pengalamannya luas, melewati batas-batas etnis dan budaya, jiwa kemanusiaannya sangat tinggi. Inilah salah satu hari terindah dalam hidup saya”.

Dalam salah satu pertemuan beliau berkata “Kita harus memperhatikan pengetahuan umum dan ketrampilan agar anak-anak kita siap pakai nantinya, seperti KH. A. Wahid Hasyim yang mampu menjadi menteri agama”. Beliau mampu membaca tantangan dunia ke depan dan berusaha menyiapkan bekal menghadapinya dengan berbagai lembaga pendidikan yang dirintis. Bahkan pada suatu ketika ia pernah berkata sama putranya Gus Iim, “Im bikin lagu untuk dakwah yang menarik, seperti lagu anak-anak untuk mengenal Tuhan, alam dan sebagainyal”. Artinya walaupun beliau anti terhadap lagu atau tsamrah sekalipun, namun beliau juga fleksibel selama sesuai dengan aturan agama.

Walaupun ia seorang agamawan yang alim tetapi bukan formalis terbukti tidak mau memakai tasbih, sorban, dan menggelengkan kepala saat dzikir atau wiridan. Bahkan ketika mendapat hadiah tasbih dari seseorang, pasti diterimanya [sebagai penghormatan], namun setelah itu dibakar atau dipendam. Demikian juga ia tidak mau dikultuskan bahkan tidak mau ditulis biografinya, bahkan ketika bersalaman, tidak mau dicium tangan. Ia tidak mau merasa bersih, menjadi cermin orang lain, ia merasa sebagai manusia Demikian halnya penjagaan terhadap kelestarian alam juga sangat diperhatikan, hal itu dibuktikan tatkala mandi tidak pernah berlebih-lebihan, pasti dengan ukuran air yang pas. Beliau sangat hati-hati. Bagi beliau, air sangat berharga karena sumber kehidupan. Kata beliau “Air itu diturunkan satu-satu oleh malaikat, maka jangan sia-siakan air”.

Beberapa Karya Tulisnya
Walaupun sehari-hari disibukkan dengan berbagai kegiatan mengajar dan mengurus birokrasi di kantor hakim agama dan juga di pengurusan NU baik di cabang maupun pusat, namun tidak menghalangi kiai kreatif itu untuk berkarya secara kualitatif. Di antara karya tulisnya yang bisa diidentifikasi adalah:

Fadlail al-Syuhur, sebaah kitab yang tidak ada namanya, namun berisi keutamaan semua bulan, mulai Syawal sampai Ramadlan, tidak ada yang tersisa. Menurut Kiai Masduki, murid dan sekaligus patner perjuangan yang diberi kitab Kiai Mahfudz, kitab itu berisi tentang seluruh keutamaan dan kelebihan setiap bulan, agar supaya tidak lupa melakukan kekhususannya setiap bulan. Sayangnya, menurut Kiai Masduki [Perak], ketika Kiai Mahfudz memberikan kitabnya itu, beliau berpesan agar jangan memberikan kepada orang lain baik dalam bentuk memfoto copy atau lainnya.

Risalah Asyura min Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, menerangkan tentang keistimewaan bulan Asyura, Muharram. Kandungan buku ini beliau sebar ke masyarakat sekitar dan mengajak mereka bersama-sama mengamalkannya.

Beliau adalah penulis pertama Nadhoman Tahsrif Lughowiyah dan Ishtilahiyah dalam kitab Amtsilah Al-Tashrifiyah. Beliau langsung didekte Kiai Ma’shum Ali. Kitab itu kemudian di serahkan di Timur Tengah untuk dicetak. Luar biasa sambutan Ulama Timur Tengah ketika itu. Mereka kagum terhadap kecerdasan dan kreatifitas ulama Jawa, sehingga kitab ini menjadi kurikulum wajib di sekolah-sekolah Timur Tengah.

Tathbiq [jadwal lengkap] dalam kitab Fathur Rauf Al-Mannan karya Kiai Jalil Kudus
Hasil garapan falak [kalender] sampai tahun 2003
Masih ada karya-karya beliau yang belum terlacak, baik berupa ringkasan kitab, catatan kaki, atau lainnya.

Amal di Akhir Hayatnya
Ketika usinya semakin senja Kiai itu sangat prihatin, sebab semakin sedikitnya santri yang berminat dalam bidang falak, di pesantren sendiri ilmu itu hanya diajarkan sambil lalu, sebagai pengenalan, tidak dikaji secara mendalam, sehingga bisa dipraktikkan. Langkah yang diambil kiai adalah membuka pengajian khusus ilmu falak di rumahnya. Pengajian khusus itu banyak diminati masyarakat, tidak hanya santri, tetapi banyak warga NU yang sudah senior mengikuti pengajian ini. Forum pengajian selalu ramai karena dihadiri oleh para ulama dari kabupaten Jombang, Kediri dan sekitarnya. Upaya itu tidak sia-sia, maka dalam waktu yang singkat banyak warga NU di berbagai daerah yang bias membuat kalender sendiri, untuk keperluan sendiri. Keberhasilan mewariskan ilmunya pada masyarakat itu membuat Sang Kiai merasa lega.

Di tengah kelegaan itu Kiai Mahfudz wafat pada malam jum’at legi, 21 Shafar 1420, atau 20 Mei 1999 pada pukul sekitar Maghrib. Banyak orang yang melayat, diantaranya KH. Abdurrahman Wahid, KH. A. Sahal Mahfudz, KH. A. Aziz Masyhuri, KH. Imron Hamzah, dan masih banyak kiai besar lainnya. Termasuk juga Ibu Mufida Munir [istri Rozy Munir M.Sc, putranya KH. Munasir Ali Mojokerto]. Dengan meninggalnya Kiai ini bangsa Indonesia dan warga NU khususnya sangat kehilangan seorang astronom terkemuka, yang temuan-temuan dan keputusannya sangat valid sehingga dihormati semua orang.

PENULIS DAN PENGGALI DATA :
Jamal Ma’mur Asmani
Santri PP Mahasiswa Al-Aqobah Kwaron Diwek Jombang Telp. [0321] 864578
HP. 08155256279, e-mail : jombang_jamal@yahoo.com,
alumnus Perguruan Islam Mathali’ul Falah dan PP Raudlatul ‘Ulum Kajen Pati.

KH. Abdul hamid REMBANG

www.sufinews.com

Semua Orang Merasa Paling Disayang


KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan ANGIN bergerak perlahan. Hening. Jam menunjuk pukul 01.00 lebih. Warga Pesantren Salafiyah, Pasuruan, dan sekitarnya lelap tidur nyenyak.

Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu menyeruak keheningan. Sejurus kemudian terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga kali. "Faisal, hari sudah malam. Waktunya tidur," terdengar teguran halus dari arah belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama sebenarnya), santri Salafiyah yang terkenal badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara anak santri lain yang ingin menggodanya, dengan meniru suara Kiai Hamid.

Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon mangga di depan rumah pengasuh pesantrennya itu. "Faisal, hari sudah malam, waktunya tidur," terdengar suara lembut lagi dari arah belakang anak yang suka melucu itu. Begitu lembut, selembut semilir angin tengah malam. "Sudahlah, kau tak usah usil. Aku tahu siapa kau," sergah Faisal sambil melempar lagi. Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak sabaran melihat buah mangga yang ranum itu.

"Faisal, hari sudah malam. Ayo tidur, tidur." Suara itu masih halus, tanpa emosi. "Kurang ajar," umpat Faisal. Kesabarannya sudah habis. Ini keterlaluan, pikirnya. Dengan geram, ia menghampiri arah datangnya suara tersebut. Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap orang yang dianggapnya meniru seperti Kiai Hamid itu. Ia tidak dapat segera mengenali, siapa santri yang berlagak seperti Kiai Hamid di depan rumah kiai yang sangat disegani itu. Maklum, semua lampu di teras rumah itu sudah dipadamkan sejak pukul 21.00. Mendadak mukanya pucat ketika jarak dengan orang tersebut tinggal 1-2 meter.

Tubuhnya bergetar demi mengetahui orang yang telah diumpatinya tadi benar benar Kiai Hamid. Faisal pun menunduk segan. "Sudah malam, ya. Sekarang waktunya tidur," ujar Kiai, Hamid, masih tetap lembut, namun penuh wibawa. "Inggih (iya)," jawab Faisal pendek, sambil ngeloyor pergi ke kamarnya. Faisal bukan satu-satunya santri yang suka mencuri mangga milik kiai.

Cerita seperti itu sudah menjadi semacam model khas kenakalan santri di pesantren. Faisal juga bukan satu-satunya anak santri Salafiyah yang merasakan kesabaran Kiai Hamid. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.

"Kiai Hamid dulu sangat keras," kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.

Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.

Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro'is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.

Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.

"Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah," katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.

Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.

Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma'shum, mantan Ro'is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja'far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.

Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu'man, H. Nasikh dan H. Idris.

Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.

Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.

Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. "Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)", katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.

Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.

Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, "Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri," jelasnya.

Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya 'Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. "Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu," katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. "O, rupanya dia suka kulit roti," pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. "Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat," ujarnya.

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi.

Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu'afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.

Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang "egoistis", dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.

H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.

Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dan tetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dan sarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.

Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri dan adik iparnya, "Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid." Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang - biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangat diseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orang mengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.

Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk bercerita mengenai yang menjadi masalahnya. "Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu gundah," desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakan masalah keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya.

Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.

Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat, kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan.

Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang sederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi di situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar Jawa Timur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan Kiai Hamid.

Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmu di Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahir dengan nama Mu'thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan Hamid saja. "Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah)," katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu. Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang berisi akidah, syari'ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.

Maulana Jalaluddin Rumi

Menari di Depan Tuhan

"Akan tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita." Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah.

"Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi," tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.

Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes--para darwis yang menari.

Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.

Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? "Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman," kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson. "Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci," seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi, Matsnawi.

Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya di kanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, "Maulana mengubah tanah menjadi madu.... Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya." Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus: "Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi."

Besar dalam kembara
Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad.

Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor.

Tak lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin Kaykobad. Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, "Kendati saya tak pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan pengikut setia Anda."

Di kota ini ibu Jalaluddin, Mu'min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin, lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia.

Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk menambah ilmu. 8 tahun menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin pun menggembleng diri sendiri.

Cinta adalah menari
1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih.

Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah, seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan!

Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, "Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, 'Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya', atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, 'Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya kekuasaanku'.

Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah.

Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.

Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams.

Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. "Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan Syams," jelas Talat.

Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari, karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai.
(Aulia A Muhammad)